Bagi
guru yang memberikan pendidikan seks, Killander (1971) mengungkapkan bahwa guru
mempunyai peran yang besar, yaitu :
1. Membantu menyeleksi sasaran sosialitas dan pribadi yang
dapat dicapai oleh anak didik.
2. Membantu siswa untuk menyadari bahwa sarana tersebut
sesuai untuk mereka dan membimbing mereka untuk menerimanya sebagai bagian dari
hidup.
3. Membimbing mereka untuk memilih aktivitas-aktivitas dan
pengalaman yang baik dalam merencanakan masa depan.
Oleh karena itu, Flake-Hobson (Joice, 1996) menyatakan
bahwa pendidikan seks di sekolah harus meliputi pengajaran antara lain:
1. Mengizinkan anak untuk berperan sesuai dengan jenis
kelamin dalam ekspresi mereka, kepribadian mereka dan interaksi mereka dengan
teman-temannya di kelas.
2. Mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan sopan santun terhadap lawan jenis.
3. Memperkenalkan siswa terhadap perkembangan peran seks.
Misalnya seorang perempuan akan menjadi siswa yang berstatus ibu rumah tangga
atau isteri.
4. Menyediakan alat-alat audio visual (pandang dengar -
red) mengenai perkembangan peran seks kepada siswa dan mengajak mereka untuk
berdiskusi.
5. Memperkenalkan siswa kepada bermacam-macam peran seks
antara laki-laki dan perempuan.
Tukan (1993) menguraikan materi pendidikan seks di sekolah
sebagai berikut:
Siswa SD kelas 5 dan 6
Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang pria,
proses terjadinya mimpi basah, menjaga kebersihan kelamin, memakai bahasa yang
baik dan benar tentang seks, kepribadian seorang siswa.
Siswi kelas 5 dan 6
Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang
wanita, proses terjadinya ovulasi dan menstruasi, keterbukaan pada orang tua,
serta pendidikan dan kepribadian wanita.
Siswa SLTPK kelas 2 dan 3
Memperluas apa yang telah dibicarakan di SD kelas 5 dan 6,
yakni identitas remaja, pergaulan, dari mana kau berasal, proses melahirkan,
dan tanggung jawab moral dalam pergaulan.
Siswa SLTA kelas 1 dan 2
Mendalami lagi apa yang telah diberikan di SD dan SLTP
yakni secara psikologi pria dan wanita, paham keluarga secara sosiologi,
masalah pacaran dan tunangan, komunikasi, pilihan cara hidup menikah atau
membujang, pergaulan pria dan wanita, tubuh manusia yang bermakna, penilaian
etis yang bertanggung jawab sekitar masalah-masalah seksual dan perkawinan.
Dengan demikian, peranan sekolah dalam memberikan
pendidikan seks merupakan suatu tanggung jawab moral bagi perkembangan anak
didik. Peranan sekolah harus dimengerti bahwa sekolah merupakan suatu institusi
yang bersifat komplementer dan membantu orang tua dalam memperlancar tugas dan
peranan orang tua terutama dalam menanamkan sikap dan perilaku seksual anak
terhadap hakikat seksuaitas manusia.
Pendidikan seks haruslah dipandang sebagi suatu proses
pengalihan nilai-nilai tentang seks yang benar yang didapat anak sebagai
bimbingan, teladan dan kepedulian para orang tua dan pendidik dalam membantu
anak membangun sikap batin yang sesuai dengan kodrat manusia, tidak hanya akal
budi tetapi juga hati nurani. Pendidikan seks juga mempunyai fungsi memberikan
landasan dalam membangun suatu hubungan yang objektif dan wajar antara anak
dengan tubuhnya.
Minggu, 30 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar